Kesalahan Strategis Jepang dalam Pertempuran Midway




Kekalahan yang dialami Jepang dalam Pertempuran Midway merupakan hasil dari beragam faktor yang kompleks. Tentu keunggulan US dari segi intelijen, teknologi, kapabilitas taktis, hingga perencanaan berpengaruh dalam kemenangan mereka atas Jepang, namun pihak Jepang sendiri juga turut melakukan sejumlah kesalahan baik dari scope strategis, operasional hingga taktis. Berikut adalah sejumlah kesalahan strategis yang dibuat oleh pihak Jepang dalam Pertempuran Midway. 

1. Rencana Operasi Untuk Merebut Midway Terlalu Kompleks

Rencana operasi Jepang melibatkan pelaksanaan dua operasi yaitu Operasi AL (Aleutian) dan Operasi MI (Midway). Operasi di Midway ditujukan untuk memancing kapal induk US dan memusnahkannya dalam sebuah decisive battle, sedangkan Operasi di Aleutian ditujukan sebagai upaya landgrab sekaligus, agar Jepang bisa mendapatkan posisi untuk mengawasi pergerakan kapal serta pesawat US. Rencana operasi AL yang dinamakan "Distributions" melibatkan tiga fase yang dicantumkan di dalam Northern Naval Force Order No. 24. 

First Distribution, atau fase pertama melibatkan penyerangan Dutch Harbor yang diikuti dengan pendaratan di Kiska dan Adak. Komando tertinggi Operasi Aleutian dipegang oleh Northern Force Main Body yang dipimpin Vice Admiral Hosogaya Moshiro, sedangkan elemen serang utamanya adalah Second Mobile Striking Force pimpinan Rear Admiral Kakuta Kakuji yang memegang kapal induk Ryuujou dan Junyou. Untuk melaksanakan pengintaian bagi pasukan pendarat, terdapat kekuatan enam kapal selam yang dipimpin oleh Rear Admiral Yamazaki Shigeaki. Kekuatan Kakuta didukung oleh Aleutians Screening Force di bawah Vice Admiral Takasu Shiro yang mempunyai battleship Hyuuga, Ise, Fuso serta Yamashiro. 

Setelah Aleutian berhasil dikuasai, formasi kapal perang Jepang akan diatur ulang lagi untuk Second Distribution. Northern Force Main Body akan mendapatkan sejumlah destroyer tambahan hingga menjadi elemen besar yang mendukung keseluruhan Operasi Aleutian. Second Mobile Striking Force akan mendapat tambahan kapal induk Zuihou beserta beragam destroyer. Kekuatan kapal selam akan mendapatkan tambahan tujuh lagi kapal selam yang diharapkan sudah selesai menjalani perawatan di Jepang. Pasukan yang sudah didaratkan di Kiska dan Attu akan mempersiapkan pertahanan, sementara Second Mobile Striking Force serta elemen kapal selam akan menghancurkan kapal US yang ditemui. 

Untuk pelaksanaan Third Distribution, sekali lagi formasi Jepang diatur ulang. Northern Force Main Body kembali akan dikurangi hingga hanya tersisa empat kapal. Sementara itu akan dibentuk 1st dan 2nd Support Group yang terdiri atas fast battleship Kongou-class beserta sejumlah cruiser dan destroyer. Second Mobile Striking Force akan dibagi menjadi 1st dan 2nd Raiding Group yang terdiri atas tiga light carrier dan kapal induk Zuikaku, ditambah beberapa cruiser serta destroyer. Kedua Raiding Group ini dipegang oleh Kakuta, namun tidak diberikan misi khusus. Third Distribution dibentuk untuk pertahanan jangka panjang di wilayah yang sudah dikuasai. 

Operasi MI akan dimulai pada saat yang bersamaan dengan serangan ke Dutch Harbor. Kekuatan Nagumo adalah First Carrier Striking Force yang terdiri dari enam kapal induk, dua fast battleship, dua heavy cruiser serta 11 destroyer akan mendekati Midway dan menghancurkan kekuatan udara US dalam satu serangan. Midway kemudian akan terus diserang dari udara sebagai bagian dari persiapan pendaratan amfibi Jepang. 

Pendaratan di Midway dilakukan oleh Invasion Force Main Body pimpinan Vice Admiral Kondou Nobutake, yang terdiri atas battleship Hiei dan Kongou, heavy cruiser Atago, Choukai, Haguro dan Myoukou, serta screen 7 destroyer yang dipegang oleh Rear Admiral Nishimura Shouji. Setelah Jepang berhasil mendarat di Pulau Kure sejauh 60 mil dari Midway untuk mendirikan pangkalan seaplane, barulah Midway akan diserang oleh satuan gabungan IJN dan IJA. Apabila kekuatan Jepang sudah menguasai Midway, mereka akan segera memanfaatkan pangkalan tersebut untuk mengadakan decisive battle melawan US Navy. 

Selain kekuatan Nagumo, elemen laut Jepang yang dilibatkan di Midway adalah Main Body pimpinan Admiral Yamamoto sendiri yang terdiri atas battleship Yamato, Nagato, Mutsu, kapal induk Houshou, serta seaplane tender Chiyoda dan Nisshin. Main Body Yamamoto mendapatkan screening dari 9 destroyer di bawah pimpinan Rear Admiral Hashimoto Shintarou. Main Body ini akan berlayar di belakang kekuatan Nagumo. 

Decisive battle akan diadakan di perairan lepas Midway, dimana kekuatan laut Jepang disusun agar mampu mencegat US. Kekuatan Nagumo bersiaga dalam jarak 500 mil utara-timur laut dari Midway, sedangkan Main Body Yamamoto akan mendukung 300 mil dari barat. Aleutians Screening Force akan turun dari perairan Pasifik Utara dan bersiaga 500 mil di utara Yamamoto, beserta Second Mobile Striking Force yang juga akan bergerak 300 mil ke timur Aleutian Screening Force. Invasion Force Main Body akan berperan sebagai pancingan agar US mengirim kapal-kapal keluar dari Pearl Harbor. 

Apabila kekuatan US terdeteksi, Aleutians Screening Force akan bergerak ke selatan dan bergabung dengan Yamamoto. Nagumo juga akan bergerak untuk bertempur melawan armada US. Diharapkan bahwa setelah diserang kapal selam dan kekuatan udara kapal induk, kekuatan laut US akan melemah sehingga bisa diselesaikan dengan battleship. Setelah meraih kemenangan, Jepang akan melancarkan tindak lanjut di antaranya pengiriman kapal induk ke Truk serta pengerahan battleship ke utara untuk membantu Operation AL. Truk kemudian akan menjadi lokasi persiapan untuk pendudukan di kawasan Pasifik barat daya. 

Satu kekurangan yang terlihat jelas dalam penjabaran rencana operasi Jepang tersebut adalah bahwa rencana operasi sangatlah kompleks dengan naskah yang sangat ketat. Terdapat selusin lebih formasi kapal perang yang silih berganti dengan penjadwalan yang amat kaku. Kebiasaan Jepang ini merupakan ciri khas dari naval strategy mereka di era 1920-1930an, terlihat jelas dari pelaksanaan fleet exercise yang selalu dipenuhi manuver terkoordinasi nan indah dari Blue Force IJN. Sementara itu Red Force yang mewakili US selalu melakukan melakukan perlawanan yang tidak kompeten hingga akhirnya selalu berhasil terperangkap dan kalah sesuai naskah. 

Kelemahan dari rencana operasi yang terlalu kompleks dan kaku adalah keterbatasan ruang bergerak bagi para komandan. Akibatnya, mereka tidak akan mampu beradaptasi dengan keadaan yang berada di luar prediksi sembari mempertahankan tempo operasi. Terlebih lagi, kekakuan serta kompleksnya rencana yang telah dibuat Yamamoto berdasarkan pada asumsi bahwa pihak US tidak akan mampu mengetahui niatan Jepang, dan tetap menjadi lawan tidak kompeten sebagaimana yang selalu tergambar dalam naskah latihan. Tentu saja rencana ini langsung berantakan begitu intelijen US berhasil mendapatkan informasi mengenai rencana operasi Jepang. 

2. Penempatan Elemen IJN yang Terlalu Menyebar, Percuma dan Memakan Gaji Buta

Sebenarnya Operasi MI dan AL menurunkan hampir keseluruhan IJN yang melibatkan semua kapal induknya, semua battleship, hampir semua heavy cruisernya serta mayoritas kombatan permukaan lainnya. Jepang disini memiliki keunggulan dari kuantitas kekuatan melawan US, akan tetapi dalam rencana operasi yang kelewat kompleks tersebut elemen IJN ditempatkan terlalu menyebar antara Midway hingga Alaska. Akibatnya, meskipun jumlah kapal yang dikerahkan ada banyak, tidak ada elemen yang ditempatkan cukup dekat untuk saling memberikan dukungan langsung. 

Contohnya adalah Main Body Yamamoto yang ditugaskan untuk mendukung kekuatan kapal induk Nagumo ternyata berjarak setidaknya 600 mil. Apabila Nagumo membutuhkan bantuan battleship, Main Body Yamamoto membutuhkan waktu setidaknya dua hari untuk berlayar hingga sampai ke lokasinya. Dari 11 battleship yang dikerahkan, hanya ada 4 battleship di bawah pimpinan Nagumo dan Kondou yang memberikan dukungan secara langsung. Hal ini mengungkapkan kesalahan strategis berikutnya yaitu penempatan kapal yang percuma. 

Meskipun fokus utama Jepang dalam pelaksanaan operasi ini adalah pemusnahan armada kapal induk US di Midway, jumlah kapal yang dikerahkan malah lebih banyak untuk Operasi AL. Penyerangan ke Dutch Harbor sendiri sudah melibatkan ~50 kapal perang dan mayoritas kapal-kapal tersebut juga tidak melakukan peran yang sangat-amat-penting. Untuk Midway sendiri yang menjadi fokus, Jepang hanya mengerahkan 22 kapal perang atau sebanyak 1/10 dari keseluruhan kuantitas kapal yang diterjunkan dalam Operasi AL serta Operasi MI. Keunggulan kuantitas kekuatan Jepang atas US tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal di titik kontak, dan malah dijatahkan untuk hal yang tidak relevan secara strategis. 

Komposisi sejumlah elemen IJN yang dikerahkan di Operasi AL juga mengindikasikan bahwa memang terdapat elemen yang dikerahkan untuk memakan gaji buta. Contohnya adalah Aleutians Screening Force yang menggabungkan empat battleship tertua IJN dengan kecepatan maksimum hanya 24 knot. Meskipun diberikan peran untuk "mendukung" decisive battle di Midway, Screening Force ini tidak akan bisa menghindari carrier task force US jika entah bagaimana sampai bertemu, dan juga tidak dapat memberikan dukungan bagi Main Body Yamamoto yang berjarak 500 mil di selatannya. Terlebih lagi Aleutians Screening Force juga tidak tercantum secara formal dalam administrasi Operasi AL, jadi jika keempat kapal ini tidak ditempatkan langsung di Main Body Yamamoto pertanyaannya untuk apakah dibentuk Aleutians Screening Force? "Kegabutan" ini pun turut tercerminkan dalam diary Admiral Matome Ugaki pada bulan Maret 1942, yang menceritakan keinginan untuk menurunkan Main Body dalam semacam aksi operasional dengan alasan moral anggota yang sudah menurun. 

3. Victory Disease dan Prasangka yang Congkak 

Kekuatan Jepang yang dikerahkan dalam Pertempuran Midway disebar terlalu luas dikarenakan Yamamoto memilih untuk melakukan tipu muslihat. Apabila Jepang terlihat membawa jajaran kekuatan dengan firepower yang besar, Yamamoto berasumsi bahwa US akan takut sehingga tidak akan mengirim kapal-kapalnya keluar dari Pearl Harbor. Pandangan ini disebabkan oleh adanya "Victory Disease" dimana rentetan kemenangan Jepang selama enam bulan pertama berlangsungnya perang di Pasifik menyebabkan mereka melihat militer US sebagai kekuatan yang sudah kalah serta terdemoralisasi. IJN sudah terlalu nyaman berada di posisi aggresor melawan musuh yang bersifat segan, sehingga mengakibatkan berkurangnya ketajaman operasional dan bahkan kesalahan-kesalahan ceroboh. 

Yamamoto gagal menakar karakteristik musuhnya dengan benar sehingga tidak bisa menetapkan dengan benar kapan harus mengutamakan subtlety dan kapan harus mengutamakan strength. Dalam pandangan US Naval War College, kesalahan Yamamoto dalam hal ini adalah merancang strategi dengan intensi US sebagaimana yang dipersepsikan oleh Jepang, ketimbang kapabilitas US sendiri. Hal ini membuat Yamamoto tidak mampu mengantisipasi kemungkinan bahwa US memiliki intensi untuk bertempur. 

Selain itu, Jepang juga melakukan kesalahan memproyeksikan pandangan mereka sendiri kepada musuh. Dalam perencanaan Operasi MI Yamamoto mengasumsikan bahwa US akan mendatangkan battleship mereka yang tersisa, tidak hanya kapal induk. Kekuatan utama US dianggap akan berpusat kepada battleship yang ditempatkan di belakang, sedangkan kapal induk US akan beroperasi secara terpisah. Karena Yamamoto menganggap bahwa battleship masih mampu berkontribusi dalam pertempuran yang melibatkan kapal induk, ia berasumsi bahwa US akan memiliki anggapan yang sama. 

Kenyataan aslinya berbeda, justru US Navy tidak lagi mengoperasikan battleship tua bersama dengan kapal induk. Serangan IJN ke Pearl Harbor telah mendemonstrasikan bagaimana battleship sudah rentan apabila menghadapi kekuatan udara modern. Ironisnya, pihak Jepang tidak mampu menyadari bagaimana tindakan mereka sendiri membawa transformasi radikal kepada pemikiran US Navy. 

4. Pimpinan IJN Menjadikan Wargame Sebagai Sandiwara 

Pada bulan Mei 1924, para petinggi IJN sempat mengadakan tabletop wargaming di atas battleship Yamato. Wargaming ini ditujukan untuk memperkuat aspek operasional MI yang sudah direncanakan. Wargaming merupakan sebuah perangkat analisa yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mencari tahu isu yang melekat pada suatu perencanaan militer sehingga memungkinkan dilakukannya revisi terhadap rencana tersebut, serta pembuatan rencana cadangan. Akan tetapi, tabletop wargaming Operasi MI menjadi sebuah sandiwara yang perannya hanya untuk memberikan legitimasi kepada konsep yang sedang didorong Yamamoto. 

Admiral Ugaki yang menjadi wasit memberikan aturan-aturan yang meringankan kesulitan yang dihadapi Jepang. Karena perencanaan operasi dimulai dengan sangat cepat, wargaming ini pun juga kurang dipersiapkan. Para partisipan tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk membaca dokumen briefing sehingga tidak memiliki basis yang kuat untuk mengkritik rencana yang sudah dibuat. Tidak hanya itu, sikap umum para partisipan terhadap wargaming tidak mencerminkan antusiasme, melainkan sebuah kebosanan akan sebuah event yang sekedar formalitas. Mereka hanya dapat menjadi "yes man" yang menaati apa yang sudah disampaikan. Satu-satunya orang yang dapat diharapkan bersikap kritis, yaitu Admiral Nagumo pun tidak berani menyuarakan perlawanan karena peer pressure. 

Apabila di satu sisi para partisipan bersalah karena bertindak pasif, Yamamoto dan staffnya melakukan kesalahan secara aktif dengan melakukan intervensi. Pada sebuah sesi, perwira yang memainkan US sebagai Red Force melancarkan taktik yang sebenarnya mirip dengan apa yang kemudian digunakan US dalam pertempuran. Kekuatan laut US muncul lebih cepat ketika invasi Midway masih berlangsung, sehingga mengakibatkan kapal induk Jepang mengalami kerusakan parah serta mempersulit berlangsungnya invasi. Wasit kemudian menyatakan keberatan, menekankan bahwa taktik US seperti itu "tidak mungkin" dan mengurangi jumlah kapal induk Jepang yang rusak. Dalam sesi yang lain, wasit menetapkan bahwa Akagi dan Kaga berhasil ditenggelamkan oleh pesawat land-based US. Admiral Ugaki mengurangi jumlah perkenaan sehingga yang menjadi korban hanyalah Kaga, dan Kaga pun juga diapungkan sehingga turut berpartisipasi kembali dalam fase-fase operasi berikutnya.

Menjelang akhir latihan, Yamamoto bertanya kepada Nagumo mengenai apakah yang akan ia lakukan apabila kekuatan kapal induk US mendadak muncul di belakangnya ketika ia sedang melancarkan operasi melawan Midway. Air Officer Minoru Genda dari First Carrier Division kemudian mengucapkan "Gaishu Isshoku" (akan kita habisi!). Capt. Yoshitake Miwa, salah satu staff Combined Fleet mengatakan bahwa karena kekuatan defensif Jepang tidak bisa dipatahkan, isu tersebut tidak menimbulkan kekhawatiran yang besar. Dengan jawaban fanatik tanpa basis yang kredibel tersebut, wargaming Operasi MI resmi menjadi monolog tanpa adanya pelajaran yang diambil maupun diskursus intelektual. Admiral Nagumo berangkat menuju Midway dengan kapal-kapal induknya tanpa rencana cadangan yang realistis. 

5. Memilih Midway Sebagai Lokasi Operasi 

Ya, Pertempuran Midway sendiri pada dasarnya sudah merupakan sebuah kesalahan strategis. Ketika rencana Yamamoto untuk merebut Midway disampaikan oleh Cpt. Watanabe Yasuji kepada General Headquarter IJN, langsung muncul tentangan dari tiga perencana papan atas di bawah Rear Admiral Fukudome Shigeru selaku kepala bagian perencanaan, yaitu Cpt. Tomioka Sadatoshi, Cdr. Yamamoto Yuji dan Cdr. Miyo Tatsukichi. Miyo memberikan tiga kritik terhadap rencana yang diajukan oleh Yamamoto: 

(a) Jika memutuskan untuk menyerang Midway, IJN tidak akan mampu memanfaatkan kunci kesuksesan yang sudah terbukti efektif beberapa bulan sebelumnya. Saat perang dimulai, gerak maju Jepang selalu berada di bawah perlindungan kekuatan udara land-based dimana mereka mengambil posisi di pangkalan lawan yang sudah dikuasai agar payung udara bisa dimajukan secara bertahap. Jepang tidak akan bisa mendapatkan dukungan kekuatan udara land-based jika menyerang Midway, sedangkan Midway sendiri merupakan outpost dari Pearl Harbor yang merupakan sarang ratusan pesawat land-based US. Kidou Butai, yang tidak memiliki kemampuan operasi kapal induk jangka panjang harus mundur dari arena pertempuran pasca kemenangan untuk mengisi ulang persediaannya, sehingga posisi Jepang di Midway tidak akan dilindungi kekuatan udara apapun. Midway akan rentan terhadap serangan kekuatan laut serta udara land-based US yang datang dari Pearl Harbor. 

(b) Meskipun dapat direbut sekalipun, Midway tidak akan bisa didukung secara logistik. Jepang memulai perang melawan US dengan kondisi merchant shipping yang bolong sebanyak 3.5 juta ton dari kuantitas pra-perang. Hal ini dikarenakan hilangnya dukungan dari kapal-kapal perniagaan negara netral maupun negara Sekutu yang sebelumnya melakukan aktivitas perdagangan dengan Jepang. Militer Jepang juga kemudian menarik jatah perkapalan yang ada untuk transportasi pasukan di area jajahannya. Merchant shipping Jepang sudah dipaksa bekerja melebihi bebannya sehingga perluasan yang tidak efisien harus dihindari. Perluasan ke Midway dianggap tidak efisien karena merchant shipping beroperasi secara bolak-balik, sedangkan tidak akan ada sumber daya apapun yang bisa dibawa kembali dari Midway. Kuantitas kapal tanker yang dapat dijatah untuk memasok avgas ke Midway juga diragukan mengingat jumlah kapal tanker Jepang yang sedikit sudah ditugaskan untuk mendukung armada IJN maupun mengirim minyak dari wilayah jajahan ke Home Island Jepang sendiri. Belum lagi mempertimbangkan gangguan terhadap logistik dari kekuatan kapal selam US. 

(c) Serangan ke Midway tidak akan mampu memicu reaksi US yang diinginkan Yamamoto. Miyo menilai bahwa Midway tidak terlalu signifikan bagi US sehingga bukan masalah bagi mereka untuk membiarkan outpost kecil itu direbut. Jepang tidak akan mampu mengancam Hawaii meskipun berhasil mendapatkan Midway, sedangkan US bisa segera merebut kembali Midway apabila jalur logistik Jepang sudah melemah. Sebagai alternatif, Miyo mengajukan bahwa operasi yang dapat memutuskan jalur US-Australia akan lebih mencapai provokasi yang diinginkan (kawasan Pasifik barat daya). Hal ini karena US terindikasi memiliki niatan memakai Australia sebagai basis operasi di masa mendatang. Selain itu operasi di jalur US-Australia juga memberikan beban jarak pula kepada US, ketimbang operasi di sekitar Hawaii yang masih masuk ke dalam interior line US. 

Kritik yang diberikan Cdr. Miyo memang memiliki pertimbangan yang lebih baik dari rencana yang dibuat Yamamoto. Cpt. Watanabe tidak memiliki counter apapun untuk melawan argumen Miyo namun bersikeras menyampaikan rencana yang sudah dibuat sebagai suatu hal dengan harga mati. Yamamoto pun tidak menginginkan adanya kritik apapun terhadap rencananya dan pada akhirnya, karena Yamamoto mememegang bargaining power dari kemenangan-kemenangan militer terdahulu, General Staff IJN terpaksa mengalah. 

-Hex

Shattered Sword: The Untold Story of the Battle of Midway (Parshall & Tully)Kesalahan Strategis Jepang dalam Pertempuran Midway 

Kekalahan yang dialami Jepang dalam Pertempuran Midway merupakan hasil dari beragam faktor yang kompleks. Tentu keunggulan US dari segi intelijen, teknologi, kapabilitas taktis, hingga perencanaan berpengaruh dalam kemenangan mereka atas Jepang, namun pihak Jepang sendiri juga turut melakukan sejumlah kesalahan baik dari scope strategis, operasional hingga taktis. Berikut adalah sejumlah kesalahan strategis yang dibuat oleh pihak Jepang dalam Pertempuran Midway. 

1. Rencana Operasi Untuk Merebut Midway Terlalu Kompleks

Rencana operasi Jepang melibatkan pelaksanaan dua operasi yaitu Operasi AL (Aleutian) dan Operasi MI (Midway). Operasi di Midway ditujukan untuk memancing kapal induk US dan memusnahkannya dalam sebuah decisive battle, sedangkan Operasi di Aleutian ditujukan sebagai upaya landgrab sekaligus, agar Jepang bisa mendapatkan posisi untuk mengawasi pergerakan kapal serta pesawat US. Rencana operasi AL yang dinamakan "Distributions" melibatkan tiga fase yang dicantumkan di dalam Northern Naval Force Order No. 24. 

First Distribution, atau fase pertama melibatkan penyerangan Dutch Harbor yang diikuti dengan pendaratan di Kiska dan Adak. Komando tertinggi Operasi Aleutian dipegang oleh Northern Force Main Body yang dipimpin Vice Admiral Hosogaya Moshiro, sedangkan elemen serang utamanya adalah Second Mobile Striking Force pimpinan Rear Admiral Kakuta Kakuji yang memegang kapal induk Ryuujou dan Junyou. Untuk melaksanakan pengintaian bagi pasukan pendarat, terdapat kekuatan enam kapal selam yang dipimpin oleh Rear Admiral Yamazaki Shigeaki. Kekuatan Kakuta didukung oleh Aleutians Screening Force di bawah Vice Admiral Takasu Shiro yang mempunyai battleship Hyuuga, Ise, Fuso serta Yamashiro. 

Setelah Aleutian berhasil dikuasai, formasi kapal perang Jepang akan diatur ulang lagi untuk Second Distribution. Northern Force Main Body akan mendapatkan sejumlah destroyer tambahan hingga menjadi elemen besar yang mendukung keseluruhan Operasi Aleutian. Second Mobile Striking Force akan mendapat tambahan kapal induk Zuihou beserta beragam destroyer. Kekuatan kapal selam akan mendapatkan tambahan tujuh lagi kapal selam yang diharapkan sudah selesai menjalani perawatan di Jepang. Pasukan yang sudah didaratkan di Kiska dan Attu akan mempersiapkan pertahanan, sementara Second Mobile Striking Force serta elemen kapal selam akan menghancurkan kapal US yang ditemui. 

Untuk pelaksanaan Third Distribution, sekali lagi formasi Jepang diatur ulang. Northern Force Main Body kembali akan dikurangi hingga hanya tersisa empat kapal. Sementara itu akan dibentuk 1st dan 2nd Support Group yang terdiri atas fast battleship Kongou-class beserta sejumlah cruiser dan destroyer. Second Mobile Striking Force akan dibagi menjadi 1st dan 2nd Raiding Group yang terdiri atas tiga light carrier dan kapal induk Zuikaku, ditambah beberapa cruiser serta destroyer. Kedua Raiding Group ini dipegang oleh Kakuta, namun tidak diberikan misi khusus. Third Distribution dibentuk untuk pertahanan jangka panjang di wilayah yang sudah dikuasai. 

Operasi MI akan dimulai pada saat yang bersamaan dengan serangan ke Dutch Harbor. Kekuatan Nagumo adalah First Carrier Striking Force yang terdiri dari enam kapal induk, dua fast battleship, dua heavy cruiser serta 11 destroyer akan mendekati Midway dan menghancurkan kekuatan udara US dalam satu serangan. Midway kemudian akan terus diserang dari udara sebagai bagian dari persiapan pendaratan amfibi Jepang. 

Pendaratan di Midway dilakukan oleh Invasion Force Main Body pimpinan Vice Admiral Kondou Nobutake, yang terdiri atas battleship Hiei dan Kongou, heavy cruiser Atago, Choukai, Haguro dan Myoukou, serta screen 7 destroyer yang dipegang oleh Rear Admiral Nishimura Shouji. Setelah Jepang berhasil mendarat di Pulau Kure sejauh 60 mil dari Midway untuk mendirikan pangkalan seaplane, barulah Midway akan diserang oleh satuan gabungan IJN dan IJA. Apabila kekuatan Jepang sudah menguasai Midway, mereka akan segera memanfaatkan pangkalan tersebut untuk mengadakan decisive battle melawan US Navy. 

Selain kekuatan Nagumo, elemen laut Jepang yang dilibatkan di Midway adalah Main Body pimpinan Admiral Yamamoto sendiri yang terdiri atas battleship Yamato, Nagato, Mutsu, kapal induk Houshou, serta seaplane tender Chiyoda dan Nisshin. Main Body Yamamoto mendapatkan screening dari 9 destroyer di bawah pimpinan Rear Admiral Hashimoto Shintarou. Main Body ini akan berlayar di belakang kekuatan Nagumo. 

Decisive battle akan diadakan di perairan lepas Midway, dimana kekuatan laut Jepang disusun agar mampu mencegat US. Kekuatan Nagumo bersiaga dalam jarak 500 mil utara-timur laut dari Midway, sedangkan Main Body Yamamoto akan mendukung 300 mil dari barat. Aleutians Screening Force akan turun dari perairan Pasifik Utara dan bersiaga 500 mil di utara Yamamoto, beserta Second Mobile Striking Force yang juga akan bergerak 300 mil ke timur Aleutian Screening Force. Invasion Force Main Body akan berperan sebagai pancingan agar US mengirim kapal-kapal keluar dari Pearl Harbor. 

Apabila kekuatan US terdeteksi, Aleutians Screening Force akan bergerak ke selatan dan bergabung dengan Yamamoto. Nagumo juga akan bergerak untuk bertempur melawan armada US. Diharapkan bahwa setelah diserang kapal selam dan kekuatan udara kapal induk, kekuatan laut US akan melemah sehingga bisa diselesaikan dengan battleship. Setelah meraih kemenangan, Jepang akan melancarkan tindak lanjut di antaranya pengiriman kapal induk ke Truk serta pengerahan battleship ke utara untuk membantu Operation AL. Truk kemudian akan menjadi lokasi persiapan untuk pendudukan di kawasan Pasifik barat daya. 

Satu kekurangan yang terlihat jelas dalam penjabaran rencana operasi Jepang tersebut adalah bahwa rencana operasi sangatlah kompleks dengan naskah yang sangat ketat. Terdapat selusin lebih formasi kapal perang yang silih berganti dengan penjadwalan yang amat kaku. Kebiasaan Jepang ini merupakan ciri khas dari naval strategy mereka di era 1920-1930an, terlihat jelas dari pelaksanaan fleet exercise yang selalu dipenuhi manuver terkoordinasi nan indah dari Blue Force IJN. Sementara itu Red Force yang mewakili US selalu melakukan melakukan perlawanan yang tidak kompeten hingga akhirnya selalu berhasil terperangkap dan kalah sesuai naskah. 

Kelemahan dari rencana operasi yang terlalu kompleks dan kaku adalah keterbatasan ruang bergerak bagi para komandan. Akibatnya, mereka tidak akan mampu beradaptasi dengan keadaan yang berada di luar prediksi sembari mempertahankan tempo operasi. Terlebih lagi, kekakuan serta kompleksnya rencana yang telah dibuat Yamamoto berdasarkan pada asumsi bahwa pihak US tidak akan mampu mengetahui niatan Jepang, dan tetap menjadi lawan tidak kompeten sebagaimana yang selalu tergambar dalam naskah latihan. Tentu saja rencana ini langsung berantakan begitu intelijen US berhasil mendapatkan informasi mengenai rencana operasi Jepang. 

2. Penempatan Elemen IJN yang Terlalu Menyebar, Percuma dan Memakan Gaji Buta

Sebenarnya Operasi MI dan AL menurunkan hampir keseluruhan IJN yang melibatkan semua kapal induknya, semua battleship, hampir semua heavy cruisernya serta mayoritas kombatan permukaan lainnya. Jepang disini memiliki keunggulan dari kuantitas kekuatan melawan US, akan tetapi dalam rencana operasi yang kelewat kompleks tersebut elemen IJN ditempatkan terlalu menyebar antara Midway hingga Alaska. Akibatnya, meskipun jumlah kapal yang dikerahkan ada banyak, tidak ada elemen yang ditempatkan cukup dekat untuk saling memberikan dukungan langsung. 

Contohnya adalah Main Body Yamamoto yang ditugaskan untuk mendukung kekuatan kapal induk Nagumo ternyata berjarak setidaknya 600 mil. Apabila Nagumo membutuhkan bantuan battleship, Main Body Yamamoto membutuhkan waktu setidaknya dua hari untuk berlayar hingga sampai ke lokasinya. Dari 11 battleship yang dikerahkan, hanya ada 4 battleship di bawah pimpinan Nagumo dan Kondou yang memberikan dukungan secara langsung. Hal ini mengungkapkan kesalahan strategis berikutnya yaitu penempatan kapal yang percuma. 

Meskipun fokus utama Jepang dalam pelaksanaan operasi ini adalah pemusnahan armada kapal induk US di Midway, jumlah kapal yang dikerahkan malah lebih banyak untuk Operasi AL. Penyerangan ke Dutch Harbor sendiri sudah melibatkan ~50 kapal perang dan mayoritas kapal-kapal tersebut juga tidak melakukan peran yang sangat-amat-penting. Untuk Midway sendiri yang menjadi fokus, Jepang hanya mengerahkan 22 kapal perang atau sebanyak 1/10 dari keseluruhan kuantitas kapal yang diterjunkan dalam Operasi AL serta Operasi MI. Keunggulan kuantitas kekuatan Jepang atas US tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal di titik kontak, dan malah dijatahkan untuk hal yang tidak relevan secara strategis. 

Komposisi sejumlah elemen IJN yang dikerahkan di Operasi AL juga mengindikasikan bahwa memang terdapat elemen yang dikerahkan untuk memakan gaji buta. Contohnya adalah Aleutians Screening Force yang menggabungkan empat battleship tertua IJN dengan kecepatan maksimum hanya 24 knot. Meskipun diberikan peran untuk "mendukung" decisive battle di Midway, Screening Force ini tidak akan bisa menghindari carrier task force US jika entah bagaimana sampai bertemu, dan juga tidak dapat memberikan dukungan bagi Main Body Yamamoto yang berjarak 500 mil di selatannya. Terlebih lagi Aleutians Screening Force juga tidak tercantum secara formal dalam administrasi Operasi AL, jadi jika keempat kapal ini tidak ditempatkan langsung di Main Body Yamamoto pertanyaannya untuk apakah dibentuk Aleutians Screening Force? "Kegabutan" ini pun turut tercerminkan dalam diary Admiral Matome Ugaki pada bulan Maret 1942, yang menceritakan keinginan untuk menurunkan Main Body dalam semacam aksi operasional dengan alasan moral anggota yang sudah menurun. 

3. Victory Disease dan Prasangka yang Congkak 

Kekuatan Jepang yang dikerahkan dalam Pertempuran Midway disebar terlalu luas dikarenakan Yamamoto memilih untuk melakukan tipu muslihat. Apabila Jepang terlihat membawa jajaran kekuatan dengan firepower yang besar, Yamamoto berasumsi bahwa US akan takut sehingga tidak akan mengirim kapal-kapalnya keluar dari Pearl Harbor. Pandangan ini disebabkan oleh adanya "Victory Disease" dimana rentetan kemenangan Jepang selama enam bulan pertama berlangsungnya perang di Pasifik menyebabkan mereka melihat militer US sebagai kekuatan yang sudah kalah serta terdemoralisasi. IJN sudah terlalu nyaman berada di posisi aggresor melawan musuh yang bersifat segan, sehingga mengakibatkan berkurangnya ketajaman operasional dan bahkan kesalahan-kesalahan ceroboh. 

Yamamoto gagal menakar karakteristik musuhnya dengan benar sehingga tidak bisa menetapkan dengan benar kapan harus mengutamakan subtlety dan kapan harus mengutamakan strength. Dalam pandangan US Naval War College, kesalahan Yamamoto dalam hal ini adalah merancang strategi dengan intensi US sebagaimana yang dipersepsikan oleh Jepang, ketimbang kapabilitas US sendiri. Hal ini membuat Yamamoto tidak mampu mengantisipasi kemungkinan bahwa US memiliki intensi untuk bertempur. 

Selain itu, Jepang juga melakukan kesalahan memproyeksikan pandangan mereka sendiri kepada musuh. Dalam perencanaan Operasi MI Yamamoto mengasumsikan bahwa US akan mendatangkan battleship mereka yang tersisa, tidak hanya kapal induk. Kekuatan utama US dianggap akan berpusat kepada battleship yang ditempatkan di belakang, sedangkan kapal induk US akan beroperasi secara terpisah. Karena Yamamoto menganggap bahwa battleship masih mampu berkontribusi dalam pertempuran yang melibatkan kapal induk, ia berasumsi bahwa US akan memiliki anggapan yang sama. 

Kenyataan aslinya berbeda, justru US Navy tidak lagi mengoperasikan battleship tua bersama dengan kapal induk. Serangan IJN ke Pearl Harbor telah mendemonstrasikan bagaimana battleship sudah rentan apabila menghadapi kekuatan udara modern. Ironisnya, pihak Jepang tidak mampu menyadari bagaimana tindakan mereka sendiri membawa transformasi radikal kepada pemikiran US Navy. 

4. Pimpinan IJN Menjadikan Wargame Sebagai Sandiwara 

Pada bulan Mei 1924, para petinggi IJN sempat mengadakan tabletop wargaming di atas battleship Yamato. Wargaming ini ditujukan untuk memperkuat aspek operasional MI yang sudah direncanakan. Wargaming merupakan sebuah perangkat analisa yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mencari tahu isu yang melekat pada suatu perencanaan militer sehingga memungkinkan dilakukannya revisi terhadap rencana tersebut, serta pembuatan rencana cadangan. Akan tetapi, tabletop wargaming Operasi MI menjadi sebuah sandiwara yang perannya hanya untuk memberikan legitimasi kepada konsep yang sedang didorong Yamamoto. 

Admiral Ugaki yang menjadi wasit memberikan aturan-aturan yang meringankan kesulitan yang dihadapi Jepang. Karena perencanaan operasi dimulai dengan sangat cepat, wargaming ini pun juga kurang dipersiapkan. Para partisipan tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk membaca dokumen briefing sehingga tidak memiliki basis yang kuat untuk mengkritik rencana yang sudah dibuat. Tidak hanya itu, sikap umum para partisipan terhadap wargaming tidak mencerminkan antusiasme, melainkan sebuah kebosanan akan sebuah event yang sekedar formalitas. Mereka hanya dapat menjadi "yes man" yang menaati apa yang sudah disampaikan. Satu-satunya orang yang dapat diharapkan bersikap kritis, yaitu Admiral Nagumo pun tidak berani menyuarakan perlawanan karena peer pressure. 

Apabila di satu sisi para partisipan bersalah karena bertindak pasif, Yamamoto dan staffnya melakukan kesalahan secara aktif dengan melakukan intervensi. Pada sebuah sesi, perwira yang memainkan US sebagai Red Force melancarkan taktik yang sebenarnya mirip dengan apa yang kemudian digunakan US dalam pertempuran. Kekuatan laut US muncul lebih cepat ketika invasi Midway masih berlangsung, sehingga mengakibatkan kapal induk Jepang mengalami kerusakan parah serta mempersulit berlangsungnya invasi. Wasit kemudian menyatakan keberatan, menekankan bahwa taktik US seperti itu "tidak mungkin" dan mengurangi jumlah kapal induk Jepang yang rusak. Dalam sesi yang lain, wasit menetapkan bahwa Akagi dan Kaga berhasil ditenggelamkan oleh pesawat land-based US. Admiral Ugaki mengurangi jumlah perkenaan sehingga yang menjadi korban hanyalah Kaga, dan Kaga pun juga diapungkan sehingga turut berpartisipasi kembali dalam fase-fase operasi berikutnya.

Menjelang akhir latihan, Yamamoto bertanya kepada Nagumo mengenai apakah yang akan ia lakukan apabila kekuatan kapal induk US mendadak muncul di belakangnya ketika ia sedang melancarkan operasi melawan Midway. Air Officer Minoru Genda dari First Carrier Division kemudian mengucapkan "Gaishu Isshoku" (akan kita habisi!). Capt. Yoshitake Miwa, salah satu staff Combined Fleet mengatakan bahwa karena kekuatan defensif Jepang tidak bisa dipatahkan, isu tersebut tidak menimbulkan kekhawatiran yang besar. Dengan jawaban fanatik tanpa basis yang kredibel tersebut, wargaming Operasi MI resmi menjadi monolog tanpa adanya pelajaran yang diambil maupun diskursus intelektual. Admiral Nagumo berangkat menuju Midway dengan kapal-kapal induknya tanpa rencana cadangan yang realistis. 

5. Memilih Midway Sebagai Lokasi Operasi 

Ya, Pertempuran Midway sendiri pada dasarnya sudah merupakan sebuah kesalahan strategis. Ketika rencana Yamamoto untuk merebut Midway disampaikan oleh Cpt. Watanabe Yasuji kepada General Headquarter IJN, langsung muncul tentangan dari tiga perencana papan atas di bawah Rear Admiral Fukudome Shigeru selaku kepala bagian perencanaan, yaitu Cpt. Tomioka Sadatoshi, Cdr. Yamamoto Yuji dan Cdr. Miyo Tatsukichi. Miyo memberikan tiga kritik terhadap rencana yang diajukan oleh Yamamoto: 

(a) Jika memutuskan untuk menyerang Midway, IJN tidak akan mampu memanfaatkan kunci kesuksesan yang sudah terbukti efektif beberapa bulan sebelumnya. Saat perang dimulai, gerak maju Jepang selalu berada di bawah perlindungan kekuatan udara land-based dimana mereka mengambil posisi di pangkalan lawan yang sudah dikuasai agar payung udara bisa dimajukan secara bertahap. Jepang tidak akan bisa mendapatkan dukungan kekuatan udara land-based jika menyerang Midway, sedangkan Midway sendiri merupakan outpost dari Pearl Harbor yang merupakan sarang ratusan pesawat land-based US. Kidou Butai, yang tidak memiliki kemampuan operasi kapal induk jangka panjang harus mundur dari arena pertempuran pasca kemenangan untuk mengisi ulang persediaannya, sehingga posisi Jepang di Midway tidak akan dilindungi kekuatan udara apapun. Midway akan rentan terhadap serangan kekuatan laut serta udara land-based US yang datang dari Pearl Harbor. 

(b) Meskipun dapat direbut sekalipun, Midway tidak akan bisa didukung secara logistik. Jepang memulai perang melawan US dengan kondisi merchant shipping yang bolong sebanyak 3.5 juta ton dari kuantitas pra-perang. Hal ini dikarenakan hilangnya dukungan dari kapal-kapal perniagaan negara netral maupun negara Sekutu yang sebelumnya melakukan aktivitas perdagangan dengan Jepang. Militer Jepang juga kemudian menarik jatah perkapalan yang ada untuk transportasi pasukan di area jajahannya. Merchant shipping Jepang sudah dipaksa bekerja melebihi bebannya sehingga perluasan yang tidak efisien harus dihindari. Perluasan ke Midway dianggap tidak efisien karena merchant shipping beroperasi secara bolak-balik, sedangkan tidak akan ada sumber daya apapun yang bisa dibawa kembali dari Midway. Kuantitas kapal tanker yang dapat dijatah untuk memasok avgas ke Midway juga diragukan mengingat jumlah kapal tanker Jepang yang sedikit sudah ditugaskan untuk mendukung armada IJN maupun mengirim minyak dari wilayah jajahan ke Home Island Jepang sendiri. Belum lagi mempertimbangkan gangguan terhadap logistik dari kekuatan kapal selam US. 

(c) Serangan ke Midway tidak akan mampu memicu reaksi US yang diinginkan Yamamoto. Miyo menilai bahwa Midway tidak terlalu signifikan bagi US sehingga bukan masalah bagi mereka untuk membiarkan outpost kecil itu direbut. Jepang tidak akan mampu mengancam Hawaii meskipun berhasil mendapatkan Midway, sedangkan US bisa segera merebut kembali Midway apabila jalur logistik Jepang sudah melemah. Sebagai alternatif, Miyo mengajukan bahwa operasi yang dapat memutuskan jalur US-Australia akan lebih mencapai provokasi yang diinginkan (kawasan Pasifik barat daya). Hal ini karena US terindikasi memiliki niatan memakai Australia sebagai basis operasi di masa mendatang. Selain itu operasi di jalur US-Australia juga memberikan beban jarak pula kepada US, ketimbang operasi di sekitar Hawaii yang masih masuk ke dalam interior line US. 

Kritik yang diberikan Cdr. Miyo memang memiliki pertimbangan yang lebih baik dari rencana yang dibuat Yamamoto. Cpt. Watanabe tidak memiliki counter apapun untuk melawan argumen Miyo namun bersikeras menyampaikan rencana yang sudah dibuat sebagai suatu hal dengan harga mati. Yamamoto pun tidak menginginkan adanya kritik apapun terhadap rencananya dan pada akhirnya, karena Yamamoto mememegang bargaining power dari kemenangan-kemenangan militer terdahulu, General Staff IJN terpaksa mengalah. 

-Hex

Shattered Sword: The Untold Story of the Battle of Midway (Parshall & Tully)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akhir Dari Kapal Yamato Jepang Dalam Perang Dunia 2

Ini Bukti Baru Bekas Kota Atlantis Ada di Laut Jawa (PULAU BAWEAN)